Senin, 11 Juni 2012

Airmata Tuhan (sebuah novel berseri)


Bagian 1
Siang itu matahari begitu terik membakar. Jalanan aspal hitam yang ku lalui mengepulkan asap sepertiair yang menggenang. Entah sudah berapa lama aku  berjalan terseok –seok dengan kaki yang membengkak, peluh pun mengucur dari keningku. Begitu pedih hidup di kota,  tak seorangpun yang menawarkan tumpangan atau sekedar menyapa. Benar kata almarhum ayah : “ orang kota matanya butasemua, buta karena harta,  buta karena persaingan, buta karena jabatan, buta krena gemerlap dunia semata.mungkin kebutaan itu yang menyeabkan mereka tak bisa merasakan penderitaan seorang wanita yang berjalan terseok-seok dibawah terik matahari, menggendong perut yang sudah tujuh bulan. Aku hamil tua.
Kurasa kota ini juga yang membutakan suamiku. Hampir setengah bulan ia menghilang tanpa kabar dan tak meninggalkan uang sepeserpun, entah kemana perginya. Sehari dua hari, aku masih bisa bertahan dengan sisa tabungan dan menghutang di warung tertangga, namun sekali lagi aku katakana aku tinggal di kota yang warganya “buta”, jadi tak mungkin aku terus  berhutang untuk meredam rasa lapar ke tiga anakku. Tangis ke tiga bua hati ku itulah yang memberiku daya untuk menembus panas atmosfir kota dan kebutaan hati penghuninya, mengharap  pinjaman beberapa rupiah dari kawan perantauan yang nasibnya lebih beruntung.
Beginilah kehidupan ku. sebatangkara di tanah perantauan. Hanya suami yang menjadi kawan dan teman berbagi, namun itu dulu saat ia masih menjadi suamiku, pemuda desa yang polos dan jujur, sebelum ia terpengaruh gemerlap kota dan dibutakan politik.
Saat- saat yang manis itu, Masih lekat dalam memoriku. Ketika aku mulai mencintai suamiku. Di mataku ia bukan sekedar remaja kelas tiga SMA, lebih dari itu ia adalah sosok pemuda gagah dan berani mempertahankan cinta kami walau tak mendapat restu dari kedua orang tuaku. Ia begitu mencintaiku dan tidak akan tinggal diam jika mendengar kabar tentang pemuda-pemuda lain yang beruasaha mendekatiku. Bahkan ia pernah berkelahi dengan lima orang pemuda sekaligus untuk membela setatusnya sebagai kekasihku., Di zaman dan desa ku hal itu sungguh gagah berani dan akan membuat wanita manapun mabuk kepayang. cintanya telah menundukkan hatiku. sampai saat itu datang, saat kami harus berpisah karena perjuangannya mengejar cita-cita ke kota. Ia meninggalkan ku yang saat itu baru lulus SMP dan sedang mengidap cinta yang dahsyat padanya. Namun isak tangisku berganti senyum saat ia membisikkkan sebuah janji manis di gerbang terminal  “ jangan bersedih sayag aku akan kembali dan memuktikan kepada kedua orang tua mu bahwa aku pantas untuk menjadi suami mu “

Tidak ada komentar: