Bagian 1
Siang itu
matahari begitu terik membakar. Jalanan aspal hitam yang ku lalui mengepulkan
asap sepertiair yang menggenang. Entah sudah berapa lama aku berjalan terseok –seok dengan kaki yang membengkak,
peluh pun mengucur dari keningku. Begitu pedih hidup di kota ,
tak seorangpun yang menawarkan tumpangan atau sekedar menyapa. Benar
kata almarhum ayah : “ orang kota
matanya butasemua, buta karena harta,
buta karena persaingan, buta karena jabatan, buta krena gemerlap dunia
semata.mungkin kebutaan itu yang menyeabkan mereka tak bisa merasakan
penderitaan seorang wanita yang berjalan terseok-seok dibawah terik matahari,
menggendong perut yang sudah tujuh bulan. Aku hamil tua.
Kurasa kota ini juga yang membutakan
suamiku. Hampir setengah bulan ia menghilang tanpa kabar dan tak meninggalkan
uang sepeserpun, entah kemana perginya. Sehari dua hari, aku masih bisa
bertahan dengan sisa tabungan dan menghutang di warung tertangga, namun sekali
lagi aku katakana aku tinggal di kota yang warganya “buta”, jadi tak mungkin
aku terus berhutang untuk meredam rasa
lapar ke tiga anakku. Tangis ke tiga bua hati ku itulah yang memberiku daya
untuk menembus panas atmosfir kota dan kebutaan hati penghuninya, mengharap pinjaman beberapa rupiah dari kawan
perantauan yang nasibnya lebih beruntung.
Beginilah kehidupan ku. sebatangkara
di tanah perantauan. Hanya suami yang menjadi kawan dan teman berbagi, namun
itu dulu saat ia masih menjadi suamiku, pemuda desa yang polos dan jujur,
sebelum ia terpengaruh gemerlap kota dan dibutakan politik.
Saat- saat yang
manis itu, Masih lekat dalam memoriku. Ketika aku mulai mencintai suamiku. Di
mataku ia bukan sekedar remaja kelas tiga SMA, lebih dari itu ia adalah sosok
pemuda gagah dan berani mempertahankan cinta kami walau tak mendapat restu dari
kedua orang tuaku. Ia begitu mencintaiku dan tidak akan tinggal diam jika
mendengar kabar tentang pemuda-pemuda lain yang beruasaha mendekatiku. Bahkan
ia pernah berkelahi dengan lima
orang pemuda sekaligus untuk membela setatusnya sebagai kekasihku., Di zaman
dan desa ku hal itu sungguh gagah berani dan akan membuat wanita manapun mabuk
kepayang. cintanya telah menundukkan hatiku. sampai saat itu datang, saat kami
harus berpisah karena perjuangannya mengejar cita-cita ke kota. Ia meninggalkan
ku yang saat itu baru lulus SMP dan sedang mengidap cinta yang dahsyat padanya.
Namun isak tangisku berganti senyum saat ia membisikkkan sebuah janji manis di
gerbang terminal “ jangan bersedih sayag
aku akan kembali dan memuktikan kepada kedua orang tua mu bahwa aku pantas
untuk menjadi suami mu “
Tidak ada komentar:
Posting Komentar